Rabu, 02 Juni 2010

Pendidikan Karakter dan Khitoh Guru

Oleh : Daladi

Penyelengaraan pendidikan kita sudah sekian lama mengalami disorentasi dari tujuan pendidikan yang sebenarnya. Pendidikan yang seharusnya lebih mengedepankan upaya pembentukan pribadi yang memiliki karakter positif semisal nilai-nilai religi (imani), akhlak mulia, kejujuran, kemandirian, sopan santun, rendah hati, kejujuran, tanggungjawab dan lain-lainnya, dalam pelaksanaannya lebih mengutamakan dan berorientasi hanya pada kecerdasan intelektual (IQ). Disorientasi pelaksanaan pendidikan yang demikian berimplikasi pada sikap mental guru menjadi berorientasi hanya mengejar target kurikulum dan pencapaian prestasi akademik siswa. Akibatnya nilai keutamaan yang semestinya menjadi pondasi dan modal utama siswa dalam mengarungi kehidupan di kemudian hari menjadi tidak terurus secara baik dan sungguh-sungguh. Dan akibat dari semua itu adalah tumbuhnya generasi penerus bangsa yang semakin jauh dari nilai-nilai keutamaan yang dibutuhkan baik dalam kehidupan pribadi, sosial, berbangsa, maupun bernegara. Hal yang demikian adalah ancaman kebangkrutan moral bangsa di masa yang akan datang. Maka jika kita ingin bangsa ini selamat dari ancaman kebangkrutan moral yang lebih besar lagi, pelaksanaan pendidikan karakter pada siswa tidak bisa ditunda lagi.

Khitoh Guru
Yang terpenting dalam pendidikan karakter adalah diaplikasikannya nilai-nilai keutamaan secara konsisten, senantiasa teguh dan tangguh dalam situasi dan keadaan apapun. Keteguhan dan ketangguhan yang demikian adalah penanda kuatnya karakter yang dimiliki seseorang. Menurut Doni Koesoema A dalam bukunya Pendidikan Karakter (Strategi Mendidik Anak di Zaman Global), locus educationis pendidikan karakter adalah sekolah. Dalam kaitan ini, guru sebagai ujung tombak dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah memiliki peran vital dalam pendidikan karakter, karena guru adalah pengelola dan pelaku pembelajaran di sekolah. Oleh karena perannya yang vital tersebut, sebelum melaksanakan pendidikan karakter guru harus terlebih dahulu menjadi pribadi yang memiliki karakter. Dengan kalimat lain guru harus bisa menjadi teladan dan model pribadi yang memiliki karakter. Guru harus kembali pada khitoh sebagai pribadi yang bisa digugu dan ditiru. Khitoh inilah yang harus dijadikan pegangan guru sebelum mengaplikasikan pendidikan karakter di sekolah. Alangkah naifnya jika guru mengajarkan tentang pendidikan karakter, sementara guru sendiri tidak memiliki pribadi yang berkarakter. Yang demikian ini sama halnya dengan membersihkan meja dengan menggunakan kain lap yang kotor. Percuma dan sia-sia.Betapa sangat ironis ketika guru mengajarkan dan mendidik siswa supaya rajin dan giat belajar, sementara guru sendiri malas dalam mengajar dan malas pula untuk belajar. Padahal tuntutan zaman mengharuskan guru untuk terus belajar dan belajar, oleh karena dunia pendidikan dari waktu ke waktu selalu mengalami perkembangan dan perubahan.Akan sangat naif pula ketika seorang guru menasehati siswanya agar selalu tertib dan disiplin, sementara guru sendiri sangat terbiasa datang terlambat ke sekolah dan masuk kelas untuk mengajar.Bagaimana mungkin seorang guru yang biasa bersikap angkuh, sombong, dan arogan akan mengajarkan pada siswanya tentang kemuliaan sikap rendah hati? Dan apakah mungkin guru yang gemar bergunjing dan selalu bersangka buruk pada orang lain akan mengajarkan pada siswa agar selalu berpikiran positif?Bagaimana bisa guru yang suka mencela siswa akan mengajarkan sikap pentingnya menghargai orang lain? Bagaimanakah mungkin guru yang selalu mengeluh dan menggerutu akan mengajarkan pada siswanya tentang kemandirian dan tanggungjawab?Seorang guru yang malas untuk mengajar akan sangat ironis ketika ia mengajarkan pada siswa tentang pentingnya bekerja keras dan belajar dengan giat dan bersungguh-sungguh sebagai bekal menghadapi masa depan.Guru yang tidak pernah menjalankan ibadah sesuai agama yang dianutnya, serta sikap dan perilakunya tidak pernah mencerminkan nilai-nilai religi tidak mungkin mengajarkan siswanya untuk rajin beribadah dan mensyukuri setiap anugerah atau rahmat yang telah diberikan Tuhan.Yang penulis paparkan diatas hanyalah gambaran sederhana sebagai penegas bahwa guru harus terlebih dahulu menjadi pribadi yang memiliki karakter sebelum mengajarkan karakter pada siswa. Jika tidak, pendidikan karakter di sekolah tidak akan pernah membuahkan hasil sebagaimana yang kita harapkan. Untuk lebih mempertegas gambaran diatas barangkali kasus berikut ini bisa kita jadikan acuan.Di suatu sekolah ada dua orang siswa (putra-putri) yang masih tetap tinggal di kelas meskipun bel jam pelajaran terakhir telah dibunyikan beberapa waktu yang lalu, sedangkan teman-temannya yang lain sudah pulang semua. Ketika ditegur oleh seorang guru mereka membela diri dengan mengatakan, “Kan Bapak-Ibu guru juga begitu.” Rupanya anak-anak ini menyaksikan kedekatan hubungan guru tertentu (pria-wanita) yang sudah diluar etika hubungan pertemanan atau mitra kesejawatan, dan dijadikan alasan pembenaran atas apa yang dilakukan. Hal semacam itu yang sering tidak disadari oleh guru. Guru sering tidak menyadari bahwa setiap tutur-kata, sikap, dan apapun yang dilakukannya selalu menjadi perhatian dan diapresiasi siswa. Dari apa yang diucapkan dan dilakukan guru – entah baik atau buruk – siswa belajar secara langsung.
Keteladanan KarakterDalam mengaplikasikan pendidikan karakter di sekolah, memosisikan siswa dalam kedudukan yang senantiasa dihargai sebagai pribadi yang memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang sehingga menjadi individu yang memiliki karakter yang kuat. Dan oleh karena guru adalah pendidik dalam konteks pendidikan karakter, maka guru harus dapat meneladankan diri sebagai pribadi yang berkarakter yang merupakan khitoh sebagai yang bisa digugu dan ditiru. Guru memang tak akan pernah jadi manusia sempurna, tapi setidaknya harus selalu belajar dan berusaha untuk melakukan apa yang seharusnya dan pantas dilakukan sebagai guru, sehingga layak diteladani oleh siswa .Keteladanan karakter tersebut diantaranya adalah (1) pekerja keras dan pembelajar, (2) optimis dan memiliki motivasi kuat, (3) kreatif dan berinisiatif, (4) mandiri dan percaya diri, (5) sopan dan beretika, (6) religi dan imani, (7) jujur, bertanggungjawab, dan dapat dipercaya, (8) menghargai dan menghormati sesama, (9) rendah hati, (10) ramah, tidak angkuh, (11) hubungan sosial dan kerjasama, (12) disiplin dan tertib (13) gigih, tekun, dan sabar, (14) sikap toleran (15) mampu bekerjasama, (16) berlaku adil, (17) berpikiran positif, (18) menghargai seni.Jika setiap guru memiliki keteladanan karakter sebagaimana diatas, dan kemudian diajarkan pula kepada siswa, maka tak diperlukan lagi lomba atau kompetisi untuk memilih guru teladan atau sejenisnya, karena setiap guru adalah teladan bagi siswa. Maka dengan demikian, giliran berikutnya untuk mendidik siswa sehingga menjadi pribadi yang memiliki karakter yang kuat, selalu konsisten, tetap teguh dan tangguh dalam segala keadaan bukanlah suatu kemustahilan. Catatan: sebagian dari keteladanan karakter diatas dikutip dari “9 pilar pendidikan karakter” menurut Ratna Megawangi, Ph.D.

Tidak ada komentar: